Wednesday, July 05, 2006

diambil dari www.fppm.org

Pembangunan Berkelanjutan:

Gagasan dan Implementasi di Indonesia*



Prof. Dr. Oekan S. Abdoellah

(Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan - Unpad)



Meski bukan hal baru sudah dikenal di Indonesia, pembangunan berkelanjutan secara global baru dibahas dalam konferensi lingkungan hidup di Stockholm 1972. Pada saat itu issue pembangunan berkelanjutan timbul akibat terjadinya overdevelopment yang di negara-negara maju yang berakibat pada tingginya angka pencemaran lingkungan. Sementara di negara berkembang, kemiskinan telah mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Karena itu masyarakat dunia menilai masalah lingkungan ini harus segera ditanggulangi, yaitu dengan meningkatkan pembangunan berwawasan lingkungan, atau eco-development.

Isu pembangunan tesebut kemudian ditanggapi PBB pada tahun 1983 dengan membentuk World Commision on Environment and Development (WECD). Pada tahun 1987 WCED membuat laporan tentang hari depan kita bersama (Our Common Future) dengan tema Pembangunan Berkelanjutan.

Pada tahun 1992, PBB mengadakan konferensi tentang lingkungan hidup dan pembangunan. (Un Conference on Environmental and Development -UNCED) di Rio de Janeiro Brasil. Kegiatan ini menghasilkan Konferensi Rio. Salah satu hasilnya adalah Agenda 21, sebuah program aksi pembangunan berkelanjutan. Namun sayang program ini tidak banyak ditindaklanjuti.

Untuk memperbarui komitmen pelaksanaan Agenda 21, pada tahun 2002, diadakan Konferensi Puncak se-Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan. (Word Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg dan menghasilkan Konferensi Rio+10. Kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan adanya evolusi dari isu lingkungan global di Stokholm 1972, lingkungan hidup dan pembangunan di Rio tahun 1992, dan pembangunan berkelanjutan tahun 2002 di Johannesburg.



Makna Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka (WCED, 1987). Untuk mencapai tujuan tersebut, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Pertama, peningkatan potensi produksi dengan pengelolaan yang ramah lingkungan. Kedua, menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang.

Dengan dua syarat tersebut, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan ekonomi yang harus berwawasan lingkungan dan sekaligus mengusahakan pemerataan yang adil. Dalam Deklarasi Johannesburg, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan ekonomi yang harus berwawasan lingkungan dan sekaligus mengusahakan pemerataan yang adil. Deklarasi tersebut juga menyatakan, pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga pilar: ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial.

Walau pun merupakan syarat penting dalam pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup tida menganut aliran ekologi dalam (deep ecology), yang menempatkan lingkungan hidup dan komponennya mempunyai hak eksistensi terlepas dari kepentingan manusia. Sementara lingkungan hidup adalah sumber daya yang dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.

Karena pembangunan berkelanjutan bertumpu pada tiga pilar, maka pembangunan yang dilakukan harus bersifat holistik agar terjadi sinergi. Karena itu koordinasi menjadi hal yang penting.

Dengan berkembangnya demokrasi, kemungkinan terjadinya pembangunan yang lebih seimbang antara ketiga pilar tersebut diperbesar. Pembangunan pro-rakyat belum tentu bersifat pembangunan berkelanjutan jika tidak memperhatikan pilar lingkungan hidup dan sosial budaya.



Urgensi Pembangunan Berkelanjutan

Lebih dari 40 tahun Indonesia telah menempatkan pembangunan ekonomi sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Namun laju pertumbuhan ekonomi itu harus ditebus dengan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan yang hebat.

Sumberdaya alam atau lingkungan hidup mempunyai peran penting dalam menunjang pembangunan nasional. Sumberdaya Alam masih merupakan modal utama pendorong pertumbuhan ekonomi. Masalahnya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, dilakukan eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berlebihan tanpa menggunakan kaidah konservasi. Akibatnya harus dibayar mahal dengan terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup pada beberapa sektor strategis, seperti kehutanan, pertanian, perikanan, dan pertambangan.

Sementara itu laju pertumbuhan angkatan kerja di Jawa Barat mencapai 1,7 persen, dan melampaui laju kesempatan kerja yang menunjukkan angka 1,3 persen per tahun. Akhirnya banyak kita jumpai masyarakat yang harus mengamen atau menjual sesuatu di pinggir jalan. Meski pun sesungguhnya keberadaan mereka menimbulkan resiko terkena dampak polusi udara.

Di sektor pendidikan, krisis ekonomi mengakibatkan meningkatnya angka putus sekolah. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan UN, 60 persen guru-guru SD di Indonesia tidak layak untuk mengajar. Ini berkaitan dengan kualitas pendidikan. Sementara itu, pelayanan masih belum merata, berkualitas dan terjangkau. Di sektor kesehatan pun, terancam terjadinya emerging dan re-emerging diseas. Virus HIV dan dampak pencemaran lingkungan mengancam kesehatan masyarakat.

Di sektor lingkungan sosial, hampir 25 persen wilayah Jawa Barat adalah pemukiman kumuh. Sedangkan berdasarkan data dari UN, masyarakat yang mempunyai luas lantai kurang dari 50 meter persegi per rumah tangga, hampir mencapai 44,2 persen. Jadi sebenarnya banyak masyarakat Jabar yang miskin.

Banyaknya persoalan lingkungan, baik biofisik maupun sosial ekonomi, menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan tahun 1987 masih menjadi mimpi. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Salah satunya karena adanya eksploitasi besar-besaran demi pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan menurunnya sumberdaya alam. Padahal penurunan sumberdaya alam akan berkorelasi dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.

Selama ini pemerintah sering melakukan eco-simplification, menyederhanakan kompleksitas lingkungan. Ketika bicara hutan, yang terpikir adalah berapa meter kubik kayu yang bisa dihasilkan, dan berapa devisa yang dihasilkan. Sementara fungsi-fungsi hutan untuk kepentingan lingkungan terlupakan.

Pembangunan berkelanjutan hanya slogan kosong. Jangankan di level bawah, di level pengambilan keputusan pun sebenarnya tidak memahaminya. Itu terlihat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah tingkat Nasional yang menempatkan pembangunan berkelanjutan di bagian tujuh.

Pemahamannya, pembangunan berkelanjutan itu hanya tugas kementerian lingkungan hidup. Hal sama terjadi juga dalam RKPD Jabar. Pembangunan berkelanjutan hanya disimpan pada misi ke-empat. Ini menunjukkan bahwa mindset pemerintah tentang pembangunan berkelanjutan harus diubah.

Hal lain yang menyebabkan semua itu adalah tidak adanya pemerintahan yang accountable, representatif, dan demokratis, serta lemahnya penegakan hukum dan good governance. Bahkan tidak ada satu partai politik pun yang tertarik dengan issue pembangunan berkelanjutan. Memburuknya kualitas lingkungan dan sumberdaya alam adalah akibat dari kekurangpahaman legislatif tentang pembangunan berkelanjutan.

Di sisi lain, masih terdapat keterbatasan kapasitas sumber daya manusia, dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Di sinilah pendidikan mempunyai peran. Pendidikan harus bisa meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, sehingga bisa memahami pembangunan berkelanjutan.

Dalam menyusun program pembangunan, pemerintah seringkali tidak mendengar kelompok-kelompok utama. Pemerintah, khususnya di daerah, lebih sering mendengar suara-suara dari level yang lebih atas. Sementara kelompok utama seringkali tidak didengar, meskipun lebih berpengalaman dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Sehingga ketika kelompok utama ini masuk, dianggap sebagai pengganggu.

Dalam penyusunan RPJM misalnya. Penyusunan RPJM memang melibatkan pakar dan LSM. Namun ternyata konsepnya sudah dibuat. Ketika para peserta memberikan masukan, hal itu hanya bisa diakomodasi. Kemudian keputusan pun diambil, dan seolah-olah sudah dilegitimasi karena sudah didiskusikan.

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa pembangunan berkelanjutan adalah masalah yang kompleks. Permasalahan ini berakar dari paradigma yang bersifat parsial-fragmentatif dan anthropocentris. Karena itu perlu pergeseran tekanan paradigma pembangunan dari cartesian worldview-partial/fragmentative ke ecological worldview-holistic/integrative. Perubahan paradigma ini berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi, namun kerusakan sumberdaya alam bisa dikurangi.

Pendekatan pembangunan yang terintegrasi ini sangat jarang dilakukan. Apalagi di era otonomi. Contohnya dalam pemanfaatan Sungai Citarum. Tidak ada hubungan antara satu lembaga dengan yang lainnya. Kabupaten Bandung hanya berpikir bagaimana bisa menghasilkan PAD, soal dampak lingkungan tidak dipikirkan. Sementara Kota Bandung hanya bisa menyalahkan Kabupaten Bandung, tanpa memberikan insentif kepada Kabupaten Bandung. Padahal masyarakat Kabupaten Bandung kebanyakan miskin.

Dengan adanya otonomi daerah, kerjasama antardaerah tidak ada. Apalagi wewenang gubernur untuk mengkoordinasi kegiatan ini juga dikurangi. Inilah yang kemudian mengakibatkan permasalahan menjadi bertambah.

Karena itu semua pihak harus proaktif dalam menjabarkan berbagai konsep pembangunan berkelanjutan dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dengan menggunakan teknologi tepat guna, ramah lingkungan, sesuai kebutuhan pemangku kepentingan dan berbasis sosial budaya masyarakat. Hal yang terpenting adalah bagaimana memberi contoh dan terlibat langsung di lapangan.

Perubahan paradigma dari cartesian worldview ke ecological worldview tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi akan terganggu secara signifikan. Implementasi konsep efisiensi yang merupakan perpaduan yang efektif antara ekonomi, sosial dan ekologi, maka dalam penggunaan sumberdaya sangat diperlukan. Ini berarti prinsipnya adalah mengurangi jumlah bahan yang terbuang.

Sebenarnya hal ini tidak mengubah konsep yang berkembang di masyarakat. Prinsip eco-efisiensi yang didengungkan negara maju sebenarnya bukan hal yang baru bagi masyarkat. Lihat saja sistem daur ulang yang terjadi di pekarangan.

Masyarakat Sunda terbiasa buang air di atas pacilingan. Sampah dari pencernaan dibuang ke kolam untuk makanan ikan. Begitu juga dengan sisa-sisa makanan dibuang ke kolam untuk makanan ikan.

Sampah-sampah itu dimakan ikan, dan kelak ikan itu dikonsumsi manusia. Sementara itu sampah-sampah yang tidak termakan akan mengendap di dasar kolam, dan bisa dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman. Dengan demikian, resources yang digunakan sangat efisien. Namun menurut para pejabat ini tidak hygiene dan berbahaya, karena itu dibuat proyek jambanisasi. Akhirnya karena proyek ini tidak sesuai dengan nilai sosial-budaya masyarakat, disiramnya hanya kalau pejabat datang.

Bagaimana mungkin orang yang miskin, kurang perawatan, harus membeli pelet ikan. Untuk makan saja susah, apalagi membeli pelet ikat. Mestinya sistem yang berakar dari nilai sosial-masyarakat seperti ini terus dikembangkan.

Namun masyarakat modern terlalu arogan, dan tidak mau belajar dari ilmu kampung. Dianggapnya kalau sudah belajar ilmu kampus, lebih hebat dari mereka yang belajar dari ilmu kampung. Padahal sebenarnya ilmu kampus juga harus dipelajari. Kombinasi ilmu kampus dan ilmu kampung akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Sedangkan untuk tercapainya pergeseran paradigma diperlukan realisasi dari good governance. Terselenggaranya good governance diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, transparansi, berkeadilan, efisiensi, efektifitas, dan demokratisasi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan proses pembangunan.



Perlunya Indikator Keberhasilan dalam Pembangunan Berkelanjutan

Kelemahan utama pembangunan berkelanjutan di Indonesia ialah tidak adanya tolok ukur. Pengalaman menunjukkan bahwa hanya yang terukurlah yang dapat diimplementasikan dalam pembangunan dan yang tidak terukur diabaikan. Karena itu pembangunan berkelanjutan sejak Orde Baru hingga sekarang hanya retorika belaka.

Agar pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana harus ada tolok ukurnya. Dengan tolok ukur itu, perkembangan pembangunan berkelanjutan dapat dipantau dan dievaluasi secara periodik. Tolok ukur tersebut harus mencerminkan isu penting sehingga dapat merespon isu-isu penting dan aspirasinya tersebut. Tolak ukur itu melipui pro-environment, pro-poor, pro-women dan pro-livelihood opportunities (job-led).

Jadi kalau nanti pejabat, misalnya pejabat Walikota Bandung, ternyata tidak bisa memenuhi tolok ukur tadi, maka tidak perlu dipilih lagi. Kalau misalnya pro-lingkungan, lihat berapa kali banjir yang terjadi, bagaimana pula dengan tingkat pencemaran lingkungan. Kalau polusi makin turun, maka berarti pejabat itu bagus. Begitu juga jika semakin banyak masyarakat miskin yang terentaskan, semakin banyak lapangan kerja, dan semakin banyak kesempataan yang diperoleh perempuan untuk kesetaraan gender.

Semua itu ada indeksnya. Misalnya human development index (HDI) yang digunakan sebagai tolak ukur pro-poor. HDI Jabar masih berkisar 67,9. Angka itu masih di bawah Yogyakarta. Sedangkan HDI Indonesia hanya setingkat dari Vietnam, dan tertinggal dari Malaysia dan Singapura meski memperoleh kemerdekaan lebih dahulu. Indonesia berada pada ranking 112, sedangkan Vietnam 113.



*) Disarikan dari

Workshop Penjajakan dan Pengembangan Kurikulum ESD

Sentra Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat (SPPM)

Bandung, 18 – 20 Januari 2006



diambil dari www.fppm.org

Masa Depan Bermula Hari Ini

Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan dalam Kegiatan-kegiatan Pembangunan Masyarakat




Oleh: Ilya Moeliono (Studio Driya Media - SDM)







Pembangunan berkelanjutan muncul sebagai akibat dari munculnya masalah-masalah lingkungan dan pembangunan. Kedua hal ini sering dipertentangkan. Padahal dalam konsep pembangunan berkelanjutan kita justru ingin mengetahui interaksinya.

Selama ini paradigma ekonomi itu sama dengan pertumbuhan. Pembangunan itu ekonomi, sedangkan yang lain sekunder, karena pertumbuhan yang utama. Karenanya pembangunan itu selalu mengacuk kepada angka GNP.

Bagaimana pun ekonomi dan lingkungan itu harus menjadi satu. Itu dikarenakan kuncinya adalah sumberdaya alam. Kata sumberdaya alam itu sebenarnya istilah ekonomi. Barang-barang yang ada di alam itu diberi nilai ekonomi, sehingga diberi nama sumberdaya alam.

Wacana tentang pembangunan berkelanjutan itu muncul ketika sadar bahwa lingkungan itu pembatas akhir dari pembangunan. Pembangunan tidak bisa dilakukan dengan melampaui lingkungan. Lingkungan itu dapat membersihkan dan memperbaharui diri, namun perlu waktu. Itulah sebabnya dikenal ada sumberdaya alam yang bisa diperbarukan. Namun semua itu perlu waktu. Minyak bumi saja bisa diperbaharukan, tapi harus menunggu bermilyar tahun.

Nyatanya batas sudah terlampaui dan waktu tidak diberikan. Eksploitasi itu selalu melampui kemampuan alam untuk membersihkan dirinya dan kemampuan sumberdaya alam untuk tumbuh kembali. Sekarang Indonesia sedang mengalami krisis kayu. Negara yang mempunyai pulau terbanyak di dunia yang isinya hutan semua, dalam waktu 30 tahun itu habis. Artinya batas-batas keberlanjutan kayu itu sudah jelas terlampaui.

Kota Bandung susah air, padahal berada di tengah cekungan dan sekitarnya banyak gunung-gunung. Bandung kekurangan air karena batas sumberdaya alamnya sudah terlampaui. Degradasi lingkungan itu terjadi karena pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan.

Orang ekonomi itu tidak terlalu peduli dengan lingkungan, namun peduli dengan sumberdaya alam. Namun ketika lingkungan terdegradasi, maka sumberdaya alam terancam. Jadi ketika orang ekonomi mengatakan ”para pendekar” lingkungan menghambat pembangunan, sebetulnya ini hanya wawasan waktu saja. Pada akhirnya, lingkungan itu adalah pembatas pembangunan. Kalau pun pendekar lingkungan itu diabaikan, maka pada akhirnya alam yang akan membuat masalah.

Jadi konsep pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang berusaha mendamaikan pandangan pembangunan dan pandangan lingkungan. Jadi bagaimana melakukan pembangunan dan kesejahteraan dalam batas-batas lingkungan yang berkelanjutan.



Ancaman terhadap Keberkelanjutan

Ancaman terhadap keberlanjutan itu terjadi kalau batas lingkungan dilampaui. Begitu juga ketika pembangunan diidentikkan dengan ekonomi dan pertumbuhan tanpa batas. Ancaman juga terjadi ketika eksploitasi dilakukan melampaui daya dukung dan berdasarkan kebijakan sumber daya bebas (open access resources) yang memungkinkan terjadinya persaingan yang tak terkendali dan adanya ‘penumpang gelap’.

Kenapa Kalimantan habis kayunya, karena kompetisi tidak terkendali. Semua orang yang mempunyai uang bisa masuk. Tidak ada pengendalian jumlah kayu yang bisa dieksploitasi karena kompetisi. Kompetisi itu bisa berjalan karena tidak ada aturan yang ditegakkan.

Hak pengelolaan hutan (HPH) tidak dilihat sebagai mekanisme regulasi agar eksploitasi tidak melampaui daya dukung. HPH dianggap sebagai sumber devisa, semakin banyak HPH semakin banyak uang yang didapat. HPH itu dikenakan pajak dan harus membayar kepada negara. Namun de facto, hutan pun menjadi sumber daya bebas.

Secara sosial politik, keberkelanjutan terancam ketika agenda keberlanjutan itu kalah oleh agenda lain. Pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan, yaitu masyarakat yang dekat dengan persoalannya, suaranya tidak terdengar di pusat-pusat pengambilan kebijakan.

Masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Cikapundung paling merasakan pencemaran. Mereka paling merasakan bahwa sungai itu tidak lagi hidup, namun suaranya tidak didengar. Hal yang sama juga dengan masyarakat Dayak yang hidup di hutan Kalimantan. Ini masalah sosial politik.

Ancaman juga muncul ketika terjadi kelemahan modal-sosial yaitu kemampuan bersepakat dan bekerjasama dalam skala yang luas, serta kemampuan penegakan aturan. Ketika pemerintah terpusat, maka tidak ada kerja sama. Pekerjaan dilakukan atas perintah pusat. Namun ketika terjadi otonomi, lebih tidak bisa kerja sama. Lingkungan yang semestinya dikelola sebagai ekosistem dipecah-pecah lagi menjadi sektor-sektor, dan tidak ada kerja sama. Jadi bagaimana mengelola ekosistem dan kawasan ketika tidak ada kerja sama.

Pendidikan pun bisa menjadi bagian dari masalah keberkelanjutan. Hal itu terjadi ketika pendidikan itu mengikuti arus pemikiran bahwa ekonomi sebagai panglima. Misalnya ketika semua orang berorientasi ke pasar kerja, pendidikan pun diposisikan untuk mempersiapkan orang untuk pasar kerja.

Contoh kasus di IPB. Dahulu di Kehutanan ada jurusan konservasi dan jurusan eksploitasi. Mahasiswa yang masuk jurusan konservasi itu hanya sedikit. Berbanding terbalik dengan jumlah mahasiswa yang mengambil jurusan eksploitasi. Jadi sebenarnya dunia pendidikan pun menyumbang kepada ketidakberlanjutan. Itu karena pendidikan yang dilakukan lepas dari konteks lingkungan dan keberlanjutan.



Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan bisa terjadi jika proses tersebut memenuhi kebutuhan manusia, generasi saat ini dan generasi-generasi yang akan datang. Hal yang menarik di sini bukan generasi, tetapi generasi-generasi yang akan datang. Konsep ini mengajak untuk berpikir tentang keberlangsungan planet bumi.

Pembangunan itu pun harus menjamin kesehatan lingkungan dengan cara menjaga keberlangsungan fungsi-fungsi ekosistem, melestarikan komponen-komponen dalam ekosistem, dan menjaga interaksi antarkomponen dalam ekosistem. Selain itu, proses itu harus dilakukan dalam batas daya dukung lingkungan; tidak mengancam keberlanjutan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan menghemat sumberdaya alam yang tak dapat diperbaharui.

Sedangkan kriteria penilaian keberlanjutan menyangkut lima aspek. Kelima aspek itu adalah lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Pertama, lingkungan. Penilaiannya berkenaan dengan unsur lingkungan dan berkait dengan kesehatan ekosistem. Misalnya keberadaan air, flora dan fauna.

Kedua, ekonomi. Unsur ini berkaitan dengan pertanyaan apakah pembangunan yang dilakukan dapat memberikan kesejahteraan pada tingkat yang layak terhadap masyarakat.

Ketiga, sosial. Karena pembangunan berkelanjutan merupakan masalah lingkungan, ekonomi, dan sosial, ketidakadilan antarkelompok, akan melahirkan gugatan-gugatan. Sedangkan gugatan yang sering terjadi di lapangan adalah penjarahan hutan dan pengalihan aliran air.

Keempat, budaya. Unsur budaya ini menyangkut identitas budaya, kebutuhan budaya, dan pengetahuan tradisional yang diwariskan secara akumulatif dari generasi ke generasi.

Kelima, politik. Masalah ini berkaitan dengan pengambilan keputusan yang demokrasi. Persoalan pembangunan, kesejahteraan, dan lingkungan harus sama-sama masuk ke dalam agenda politik dan menghasilkan kebijakan yang tepat.

Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan adanya pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Pengelolaan itu dilandaskan pada pengakuan terhadap keterbatasan lingkungan sebagai dasar sumberdaya alam. Lingkungan itu pun harus dipahami dalam konteks ekosistem. Karenanya, eksploitasi harus dilakukan dalam batas daya-dukung alam.

Pembangunan berkelanjutan pun harus dilakukan dengan landasan demokrasi. Karena itu dalam setiap pengambilan keputusan harus mempertimbangkan kepentingan semua. Keputusan itu diambil melalui proses yang melibatkan semua dan berdasarkan informasi/pengetahuan yang memadai.



Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat

Pengelolaan pembangunan berkelanjutan bisa dilakukan oleh komunitas. Hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan pola pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat (PSABM). Untuk bisa melakukan itu, komunitas itu harus mempunyai kejelasan tentang sumberdaya alam yang sedang dikelola.

Setiap komunitas perlu kelembagaan yang jelas untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan. Hanya komunitas yang mempunyai mekanisme pengelolaan sengketa saja yang mampu mengelola lingkungan berkelanjutan di tengah ancaman keberlangsungan sumberdaya alam dan lingkungan. Hal itu dimungkinkan karena ada pengetahuan dan informasi yang memadai, serta adanya pendekatan ekosistem dan kebijakan yang mendukung.

Sumberdaya alam itu batasan harus jelas. Artinya komunitas itu mengelola sumberdaya alam yang mana. Batas-batas itu sekarang sering dipersengketakan. Misalnya batas kawasan lindung, kawasan taman nasional, dan masyarakat. Sengketa itu sering terjadi ketika batas-batas itu dilihat sebagai alat-alat kekuasaan, dan bukan sebagai alat kelola. Batas-batas itu menunjukkan adanya otoritas pemeritah.

Kelembagaan memerlukan kepemimpinan yang kuat dan demokratis. Harus ada juga aturan tentang pengelolaan sumberdaya alam yang jelas. Aturan itu mencerminkan lingkungan dan eksklusifitas, tidak semua orang boleh mengeksploitasi sumber daya alam.

Kelembagaaan pun akan memudahkan dalam pemilihan pengelolaan sengketa. Pengelolaan itu bisa dilakukan dengan cara tradisional, formal, dan informal. Agar pengelolaan yang dilakukan bisa optimnal, maka pengetahuan dan informasi menjadi penting. Baik itu pengetahuan dan informasi yang bersifat biofisik, spatial, adat budaya, dan kebijakan. Seringkali kebijakan pengambilan keputusan tentang pembangunan tidak didasarkan pada informasi lingkungan yang memadai.

Agar pengelolaan itu bisa berkelanjutan maka proses itu harus menggunakan pendekatan ekosistem dengan menerapkan unit kelola skala bermakna. Ada empat manfaat yang diperoleh dengan pengelolaan semacam ini: manfaat ekonomi, lingkungan, multi-skala, dan kemampuan kelola. Hal terpenting, keberadaan kegiatan pengelolaan ini harus disertai dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang mendukung.



Pendidikan & Pembangunan Berkelanjutan

Dalam pembangunan berkelanjutan, peranan pendidikan menjadi salah satu faktor penting. Keberadaannya bisa menjadi bagian dari masalah, bisa juga menjadi solusi. Pendidikan bisa menjadi masalah jika proses tersebut tidak mempertanyakan paradigma pertumbuhan, bahkan memperkuatnya. Ia juga akan menjadi masalah jika pengembangan sistem kurikulumnya mendorong usaha tanpa keberlanjutan.

Namun pendidikan juga bisa menjadi solusi jika proses yang dilakukan dapat membangun kesadaran kritis tentang pembangunan dan lingkungan, serta mampu membantu warga belajar untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Selama ini ada paradoks. Semakin orang terdidik, semakin menjadi masalah. Orang terdidik itu tingkat konsumsinya cenderung lebih tinggi, lebih memboroskan sumberdaya dan lebih banyak menimbulkan polusi. Sampah yang ada di Kota Bandung ini mau dibuang ke mana? Sampah masyarakat desa sebenarnya tidak ditaruh di mana-mana juga tidak akan menjadi masalah.

Permasalahannya bukan pendidikan, tapi pendidikan yang bagaimana. Pendidikan itu menyumbang ketidakberlangsungan yang hebat. Nilai yang harus ada dalam pendidikan berkelanjutan itu adalah nilai-nilai manfaat nyata lingkungan hidup. Lingkungan itu bukan sekadar menyediakan sumberdaya alam yang bisa diambil. Namun ia juga menyediakan manfaat-manfaat yang lain.

Nilai-nilai manfaat itu tidak cukup, tetapi ada juga nilai-nilai spiritual. Manusia mendapat mandat dari Tuhan untuk mengelola alam. Adalah tanggung jawab manusia untuk mengelola alam.

Ada juga nilai-nilai etika. Lingkungan adalah habitat bersama. Ketika seseorang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan, sebenarnya ia juga tidak bertanggung jawab terhadap sesama. Pendidikan juga harus memuat nilai-nilai estetika yang berkaitan dengan keindahan. Alam harus dijaga agar tetap indah.

Pendidikan itu juga perlu menumbuhkan pemahaman tentang lingkungan. Yaitu pemahaman bahwa lingkungan adalah ekosistem, dan manusia adalah bagian dari ekosistem. Karena itu apapun yang dilakukan terhadap ekosistem pasti akan ada akibatnya. Pada akhirnya muncul kesadaran bahwa bumi merupakan satu sistem yang “tertutup”. Ketika sumberdaya alam habis, maka sumberdaya alam itu tidak akan bisa diperoleh dari planet lain.

Pesan lain yang harus ada dalam pendidikan adalah pandangan dan kepercayaan terhadap masa depan. Seringkali ditemukan orang-orang yang tidak percaya kepada masa depan. Pejabat itu hanya berpikir lima tahun, dan tidak berpikir jangka panjang. Untuk melakukan itu harus ada kepercayaan bahwa siapa pun bisa merubah sesuatu. Selain itu, untuk masa depan, investasi di masa sekarang patut dilakukan.

Pendidikan juga harus memberikan pemahaman tentang nilai-nilai tanggung-jawab dan peran sosial-politik. Perlu dipahami bahwa bumi adalah habitat sesama manusia. Karena itu nilai keadilan, tanggung-jawab sosial, dan demokrasi harus dikembangkan. Dengan nilai-nilai itu maka akan muncul pemahaman kritis tentang lingkungan dan pembangunan. Di sisi lain, nilai-nilai itu akan menciptakan kemampuan nyata untuk berperan pada berbagai tataran.



Pembelajaran Pembangunan Berkelanjutan

Ada tiga aspek dalam pembelajaran pembangunan berkelanjutan. Aspek pertama adalah pembelajaran individual. Pembelajaran individual ini menyangkut wawasan, nilai-nilai, dan kemampuan individual.

Aspek kedua adalah pembelajaran sosial. Pembelajaran dilakukan dalam dan dari konteks sosial. Pembelajaran ini menyangkut pengembangan modal sosial (social capital) dan masyarakat belajar (learning society). Dengan demikian, pembelajaran akan menumbuhkan kemampuan kerjasama pada berbagai skala ekosistem, sehingga bisa melakukan adaptasi berlanjut pada skala ekosistem

Pembelajaran tentang pembangunan berkelanjutan juga menyangkut pembelajar aksi. Pembelajaran tersebut tidak terpisahkan dari aksi dan dari aksi untuk aksi. Pembelajaran aksi ini dilakukan dengan metode belajar untuk bertindak dan belajar dari tindakan. Karena itu kegiatan-kegiatan pengelolaan lingkungan atau sumberdaya alam diposisikan sebagai ajang pembelajaran.

Pembelajaran itu bisa digunakan sebagai sarana untuk merefleksikan keberadaan diri dan lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun biofisik. Dengan demikian pembelajaran tersebut berujung kepada munculnya sebuah penyadaran (concientizacao), dan mendorong individu bertindak untuk mengubah keadaan. Tindakan itu kemudian direfleksikan, dan dilakukan secara terus-menerus.

Dengan demikian, pembelajaran aksi itu sama dengan kajitindak partisipatif (participatory action research) yang biasa dilakukan di pendidikan non-formal. Kajitindak partisipatif ini merupakan pengalaman yang direfleksikan atau dievaluasi melalui pengkajian-pengkajian. Setelah melalui proses penyadaran, maka dilakukan perencanaan dan pengorganisasian untuk melakukan aksi atau tindakan lainnya. Siklus itu terjadi terus-menerus dan menjadi sebuah pengalaman.



*) Disarikan dari

Workshop Penjajakan dan Pengembangan Kurikulum ESD

Sentra Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat (SPPM)

Bandung, 18 – 20 Januari 2006



diambil dari www.ekonomirakyat.org


Jakarta, tgl. 4 Juli 2003 ---

EKONOMI PANCASILA UNTUK MENEBUS DOSA-DOSA EKONOMI INDONESIA
(Catatan Seminar Bulanan PUSTEP UGM)



Seminar bulanan kali ini mengangkat topik yang sangat mendasar dengan berbagai pandangan dilontarkan. Prof. Mubyarto mengatakan bahwa Ekonomi Pancasila bukan merupakan suatu impian maupun wacana belaka, tetapi benar-benar merupakan kebutuhan yang mendesak untuk “menyelamatkan” perekonomian Bangsa Indonesia. Krisis ekonomi yang telah melanda bangsa ini selama lebih dari 5 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, karena para ekonom kita tidak mampu memberikan pemecahan-pemecahan konkrit. Mereka menggunakan teori-teori ekonomi liberal secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kondisi dan karakteristik perekonomian bangsa sendiri. Padahal di negara-negara barat sendiri, ekonomi liberal semakin banyak digugat oleh tokoh-tokoh ekonomi dunia. Para ekonom “arus utama” dan pemerintah secara “membabibuta” terus melakukan privatisasi berbagai BUMN, memanjakan para konglomerat dan eks konglomerat, dan investor asing.

Para ekonom seringkali melihat perekonomian Indonesia hanya dari sudut pandang makro dengan menggunakan perhitungan model matematia agar terlihat lebih canggih (sophisticated). Kekeliruan-kekeliruan tersebut terjadi karena mereka sebenarnya “tidak tahu” dan “tidak mau tahu” karakteristik khas kehidupan ekonomi Indonesia. Jelaslah mengapa “keterpurukan” Bangsa Indonesia terus berlanjut dan hanya berputar-putar dalam lingkaran yang sama. Drs. Dumairy, MA mengemukakan bahwa dampak terburuk dari masalah ekonomi yang berkepanjangan ini adalah rakyat kebanyakan yang harus menanggung akibat dari “dosa-dosa” ini dan mengakibatkan timbulnya rasa saling tidak percaya (distrust) antar elemen-elemen bangsa yang semakin meluas sehingga menghambat perbaikan kehidupan bangsa dalam berbagai segi serta menghambat kemajuan bangsa secara keseluruhan.

Prof. Mubyarto dan Prof. Sri-Edi Swasono menegaskan bahwa yang diperlukan saat ini adalah kehidupan ekonomi yang digerakkan oleh seluruh lapisan masyarakat, yang mencerminkan karakter Bangsa Indonesia, yaitu Ekonomi Pancasila yaitu ekonomi pasar yang mengacu pada ideologi Pancasila. Didalam sistem ekonomi Pancasila, manusia Indonesia merupakan homo socius, homo ethicus, sekaligus homo economicus. Jika dilihat dari sudut pandang mikro, perekonomian Indonesia memiliki nilai moral dan etika luhur yang dapat membentengi manusia dari nafsu serakah (greedy). Namun yang banyak terjadi adalah bahwa moral dan etika tersebut telah pudar dalam kehidupan perekonomian Indonesia dimana pasar lebih mengagungkan kompetisi (winner vs loser) dan semangat keserakahan individualisme dan bukan ekonomi kekeluargaan yang kooperatif (win-win). Yang lebih menyedihkan lagi adalah yang kalah dalam pasar lebih banyak dan hanya sebagai penonton setia dari perilaku pemenang. Keprihatinan juga mencuat karena sistem kompetisi inilah yang selalu ditekankan dan diajarkan disekolah-sekolah dan perguruan tinggi.

Mengapa Ekonomi Pancasila? Karena sistem ekonomi ini menjamin tatanan ekonomi yang dapat memperkecil kesenjangan (gap) yang sangat lebar di dalam masyarakat Indonesia. Contoh nyata dari penerapan Ekonomi Pancasila sebenarnya sudah lama ada dan masih bias ditemukan, yaitu kehidupan di pedesaan yang kooperatif berdasarkan asas kekeluargaan. Mengingat pentingnya kembali kepada karakteristik bangsa untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia dan menjawab pertanyaan dari seorang mahasiswa Fakultas Hukum UGM, Prof. Mubyarto menjelaskan bahwa Ekonomi Pancasila perlu dikaji secara induktif-empirik dan deduktif-logis sebagai satu kesatuan yang menyeluruh (holistik). Tujuannya adalah agar sistem Ekonomi Pancasila tidak hanya sebagai teori dan konsep dalam buku teks saja tetapi juga berapa penerapan yang relevan dengan realita kehidupan ekonomi Bangsa Indonesia.



Septi Yulianti Laela - Asisten Peneliti PUSTEP UGM

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home