Wednesday, July 05, 2006

diambil dari www.fppm.org :

A Development Alternative for Indonesia

Penulis: Mubyarto & Daniel W. Bromley

Diterbitkan oleh: Gadjah Mada University Press

Tahun terbitan: 2002

Ukuran: 13 cm x 20 cm

Tebal: 52 halaman

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia merupakan suatu fakta sosial yang tragis. Dikatakan tragis karena semula sistem perekonomian nasional dianggap kokoh dan telah mendorong pertumbuhan ekonomi secara meyakinkan selama beberapa dekade, tetapi ternyata porak poranda dilanda badai krisis dalam waktu singkat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa sistem perekonomian itu “hancur” dan apa yang mesti dilakukan untuk memperbaikinya di masa mendatang? Persoalan ini merupakan tantangan besar bagi ekonom dan juga segenap warga bangsa ini. Dalam konteks ini, buku yang ditulis dua ekonom ini menawarkan solusi teoretik alternatif yang patut disimak guna memperbaiki kondisi dan sistem perekonomian nasional di masa mendatang.

Methodensreit

Dalam buku ini, kedua penulis menyajikan kembali pertarungan metodologis atau methodensreit antara pendukung positivistik – neoklasik dengan ekonomi sejarah dan ekonomi sosiologi, yang telah berusia lebih dari satu abad, dalam bahasa yang ringan dan mudah dimengerti, kendati disajikan dalam bahasa Inggris. Dalam konteks pertarungan metodologis tersebut, kedua penulis menjabarkan posisi ideologis mereka – ekonomi sejarah - secara tegas dan sembari mengangkat posisi ideologis kaum ekonomi sejarah yang selama ini “terbenam” di bawah bayang-bayang imperialistik mazhab positivistik.

Dalam keseluruhan penjelasannya, kedua penulis buku ini menerangkan bahwa kehancuran ekonomi Indonesia bukan hanya merupakan masalah pada tataran praktek saja melainkan berakar pada keyakinan metodologis dari para ekonom Indonesia yang mengembangkan bangunan ekonomi nasional. Kedua penulis buku ini menengarai bahwa ekonom Indonesia, terutama yang belajar di Amerika Serikat, pada umumnya menerima dengan begitu saja paham neoklasik yang bersifat positivistik dan menerapkan teori-teori deduktif yang mereka pelajari dengan tanpa mempertimbangkan keabsahan logika positivistik dan realisme sosio-kultural yang berlaku di Indonesia. Seolah-olah “kebenaran” dari ilmu ekonomi ortodoks ini dapat diterapkan secara universal tanpa ada batasan waktu dan ruang (tanda petik sesuai asli, lihat Mubyarto dan Bromley, hal 20).

Berbeda dengan para ekonom dari mazhab positivistik, kedua penulis mengajukan argumen bahwa ilmu ekonomi bukanlah ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value free) melainkan ilmu pengetahuan yang sarat dengan pertimbangan nilai (value laden) dan oleh karenanya kedua penulis ini mengatakan bahwa seluruh pendekatan dalam ekonomi pun sesungguhnya berbasis pada ideologi (hal 15). Sebagai salah satu contoh kongkrit, kedua penulis mengemukakan konsep untung rugi. Selama ini, keuntungan dipahami sebagai “kompensasi yang pantas” setelah dikurangi biaya produksi (tanda petik sesuai asli – pen). Dalam konteks ini, besar kecilnya nilai kompensasi yang pantas ini sangat ditentukan oleh “pasar” (tanda petik sesuai aslinya – pen). Namun, lanjut kedua penulis, jika dirunut secara seksama berkembangnya “pasar” tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan etik masyarakat untuk melakukan transaksi dan keberadaannya merupakan struktur legal dalam suatu masyarakat. Dus, pasar, dan institusi ekonomi lainnya, pada dasarnya merupakan konstruksi sosial dan oleh karenanya seluruh proses ekonomi yang terjadi pun melekat didalam (embedded) relasi sosial masyarakat tersebut.

Selanjutnya, kedua penulis mengatakan bahwa sistem perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru juga dipengaruhi oleh nilai-nilai, hanya saja sistem nilai yang dianut bukan sistem nilai bangsa Indonesia melainkan sistem nilai bangsa lain (khususnya AS) (lihat hal 21). Celakanya, sambung kedua penulis, nilai-nilai asli yang berasal dari bumi Nusantara justru dianggap tidak relevan oleh sebagian ekonom untuk menyusun kebijakan pembangunan Indonesia karena inkonsisten dengan ilmu ekonomi Barat moderen.

Alternatif yang Mengakar

Berpijak pada pemikiran tersebut, kedua penulis menekankan bahwa sistem ekonomi Indonesia mesti diganti dan disesuaikan dengan moral dan etika bangsa Indonesia, yakni ekonomi Pancasila. Sebagai ideologi bangsa, Pancasila memiliki fondasi etik (Ketuhanan dan Kemanusiaan) dan dilengkapi dengan nilai-nilai ideal (nasionalisme dan demokrasi) sebagai dasar untuk mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial (lihat hal 33-34). Keadilan sosial, seperti termaktub dalam Pancasila, inilah yang seharusnya menjadi kepedulian utama para ekonom karena ilmu ekonomi itu sesungguhnya memiliki kekuatan yang besar untuk merubah kehidupan rakyat miskin (dikutip kedua penulis dari Stiglizt, lihat hal 34).

Apa yang harus dipenuhi agar ekonomi Pancasila dapat diterapkan? Dalam konteks ini, kedua penulis mengungkapkan bahwa penerapan sistem ekonomi Pancasila sangat bergantung pada beberapa aspek kunci antara lain adalah partisipasi dan demokrasi ekonomi, pembangunan daerah, ekonomi nasionalis, bertumpu pada pembangunan yang multi-disipliner, dan sistem pengajaran ilmu ekonomi mesti mengangkat dan mengintegrasikan masing-masing sila dari Pancasila menjadi satu model pembangunan ekonomi dalam rangka mewujudkan keadilan sosial yang dicita-citakan.

Penegasan tentang arti penting perubahan kurikula pengajaran ilmu ekonomi yang disampaikan kedua penulis sangat mendasar, karena dapat merubah perspektif setiap warga bangsa. Tanpa perubahan kurikula ini, perbaikan menuju masyarakat yang berkeadilan sosial menjadi sulit. Pengalaman lapangan dari berbagai ornop selama ini membuktikan bahwa untuk menegakkan demokrasi ekonomi di tingkat pedesaan baik itu melalui pendekatan UB, revolving fund, simpan pinjam, dan pendekatan-pendekatan lainnya selalu mentok di tingkat kelompok tanpa ada perubahan pada skala yang lebih luas. Dengan demikian demokrasi ekonomi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seolah hanya menjadi retorika belaka.

Perubahan kurikula pengajaran ilmu ekonomi yang lebih menekankan pada aspek sosio-kultural masyarakat diharapkan dapat mengikis daya cengkeram dari kekuatan pembangunan ekonomi positivistik yang sering kali jauh dari kenyataan lapangan. Kendati demikian, buku ini belum mengupas secara tuntas bagaimana menjadikan gagasan ekonomi Pancasila lebih operasional pada tataran metodologis dan praktis. Ini pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan!

[Godril]

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home