Thursday, June 29, 2006

Politik

Independensi Politik, Ekonomi, dan Ideologi dalam Pandangan Muthahhari

Tanggal 12 Urdibehest atau 2 Mei dikenang oleh bangsa Iran sebagai salah satu hari duka cita. 25 tahun yang lalu, Ayatullah Murtadha Muthahhari, seorang ulama dan pemikir besar abad 20, ditembak oleh sebuah kelompok teroris yang mengaku bernama Gerakan Furqan. Kepala Muthahhari terburai diterjang peluru dan iapun akhirnya menggapai syahadah yang merupakan cita-cita tertingginya. Pemimpin Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini tak urung menangisi kematiannya karena menurut Imam, masih banyak yang tersimpan di otaknya itu yang belum disampaikan kepada ummat Islam. Namun demikian, Muthahhari telah berhasil meninggalkan karya-karya bernilai tinggi yang ia sumbangkan bagi dunia Islam. Hingga kini, meskipun sudah berlalu seperempat abad dari kematiannya, pemikiran-pemikiran Muthahhari masih sangat aktual untuk dibahas dan digali lebih jauh dan memang itulah salah satu ciri dari seorang yang disebut sebagai pemikir besar, yaitu ide-idenya menerobos jauh ke depan. Melalui acara ini, kami akan menyajikan sebuah tinjauan mengenai salah satu gagasan Muthahhari tentang independensi politik, ekonomi, dan ideologi. Selamat mendengarkan.

Independensi, kebebasan, atau kemerdekaan adalah satu hal yang selalu menjadi tema pembahasan para pemikir besar dunia. Fenomena ini memang dengan mudah kita saksikan dalam sejarah dunia. Sejak sejarah dunia dimulai, independensi bangsa-demi bangsa direngut oleh bangsa lain atas nama perluasan wilayah. Imperium-imperium besar yang menjadi legenda peradaban dunia semisal Mesir, Roma, Persia, Cina, dll. silih berganti mencaplok wilayah-wilayah sekitarnya. Dari kawasan Nusantara, kita mengenal Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai dua imperium besar yang berhasil meluaskan wilayahnya hingga melebihi kawasan yang kini dikenal dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kawasan-kawasan yang diduduki oleh imperium-imperium besar tersebut ada yang menerima kedatangan sang Imperium dengan senang hati. Akan tetapi, umumnya mereka menunjukkan penolakan. Sebagian besar kawasan-kawasan itu ditaklukkan bahkan berhasil dijatuhkan setelah melalui perlawanan bersenjata. Mengapa selalu terjadi perlawanan terhadap penaklukan bangsa lain itu? Hal ini disebabkan oleh adanya kehendak fitri yang terhunjam di dalam diri setiap orang dan setiap bangsa, yaitu keinginan untuk bebas merdeka, keinginan untuk menjadi independen dan tidak bergantung kepada pihak manapun. Mereka ingin menjalani kehidupan atas pilihannya sendiri tanpa harus bergantung kepada orang atau bangsa lain.

Muthahari menyebut ada sejumlah jenis kebergantungan. Ada yang disebut kebergantungan politis, yaitu jenis ketergantungan kepada kekuasaan yang dipaksakan oleh pihak luar. Ada yang disebut kebergantungan ekonomi. Istilah ini berarti kebergantungan ekonomi sebuah bangsa terhadap bangsa lainnya. Kemudian, kita mengenal juga istilah kebergantungan ideologis yang berarti bergantungnya dasar pemikiran yang dianut oleh sebuh bangsa terhadap ideologi yang dipaksakan oleh pihak luar. Menurut Muthahhari, dari semua bentuk itu, kebergantungan ideologis lebih berbahaya dari yang lainnya.

Fenomena kebergantungan secara politis bisa kita saksikan jauh sebelum zaman pra sejarah hingga masa-masa setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Para ilmuwan menyebut masa-masa ini sebagai era penjajahan fisik. Inilah yang dialami bangsa Indonesia ketika para penjajah Barat, mulai dari Portugis, Inggris, Perancis, dan akhirnya Belanda, datang dan menjajah kawasan ini. Masa tiga setengah tahun penjajahan Jepang juga bisa dikategorikan ke dalam masa dependensi politik tersebut. Pada saat itu, bangsa Indonesia dikuasai secara politis oleh pihak-pihak luar. Bangsa Indonesia jelas sebenarnya tidak ingin dikuasai oleh pihak yang memaksakan kekuasaannya itu. Akan tetapi, karena sejumlah alasan, selama berabad-abad, bangsa ini harus menelan secara pahit fenomena ini. Bangsa Indonesia tidak memiliki pilihan selain menerima kekuasaan pihak luar atas mereka.

Mengapa Bangsa Indonesia, dan bangsa manapun di dunia, tidak bisa menerima penjajahan? Alasannya banyak dan berderet-deret. Akan tetapi, hal paling utama yang menjadi sebab penolakan itu adalah karena adanya masalah independensi yang terusik oleh fenomena penjajahan itu. Bangsa yang terjajah adalah bangsa yang tidak memiliki pilihan dalam hal menentukan siapa yang berhak menguasai mereka. Terkadang bagi sebagian bangsa, tidak menjadi soal apakah sistem pemerintahannya berbentuk kerajaan atau republik. Yang penting bagi mereka, penguasa adalah orang yang berasal dari kalangan sendiri. Dan yang lebih penting lagi, mereka memiliki ikhtiar dan pilihan untuk menjadikan orang itu sebagai penguasa mereka.

Selepas masa itu, kita akan sangat kesulitan untuk menemukan adanya bangsa yang dijajah secara fisik. Perlahan namun pasti, satu-persatu bangsa-bangsa di dunia memperoleh kemerdekaannya. Kita hampir tidak lagi menemukan adanya sebuah kawasan yang diklaim sebagai koloni negara tertentu. Akan tetapi, masa kebergantungan belumlah selesai. Para pemilik kekuatan besar dunia tetap ingin agar mereka menjadi tempat bergantung bangsa-bangsa lain di dunia. Sejak inilah, kita menyaksikan proses kebergantungan ekonomi yang makin meluas di dunia. Sejumlah pemimpin besar dunia, termasuk Presiden Soekarno, menyebut fenomena ini sebagai neo-kolonialisme.

Fenomena kebergantungan ekonomi yang menimpa bangsa-bangsa di dunia menunjukkan keragaman implementasi. Berkaitan dengan ini, Muthahari mengatakan (pidato zire seda …. 12’:47”)

“Ada bangsa yang tidak independen secara ekonomis, sampai-sampai kalau ekonomi negara yang dijadikan sebagai tempat bergantung oleh bangsa tersebut mengalami kehancuran, ekonomi bangsa itupun ikut hancur. Ada juga bangsa yang terpaksa harus mengkonsumsi produk ekonomi negara lain, padahal bangsa itu tidak begitu memerlukannya. Terkadang, kebergantungan sebuah bangsa secara ekonomis terjadi dalam bentuk yang sangat ironis dan ini dengan cukup mudah kita saksikan pada masa sekarang. Bangsa A, misalnya, memproduksi sebuah komoditas ekonomi. Pada saat yang sama, bangsa B juga memproduksi produk serupa. Tapi, karena bangsa A ini memiliki ketergantungan ekonomi terhadap bangsa B, maka bangsa A terpaksa mengurangi produksi atau bahkan tidak memproduksi sama sekali produk tersebut, demi terjualnya komoditas ekonomi yan diproduksi oleh bangsa B”.

Itulah tadi sejumlah implementasi kebergantungan ekonomi. Adapun menyangkut independensi ideologi, Muthahhari memaparkan sebagai berikut… (zire sedo: 29’:28”)

“Independensi ideologi berakar dari independensi budaya. Sedangkan independensi budaya terungkap lewat kepercayaan yang sangat tinggi dari sebuah bangsa atas pandangan hidup dan cara perilaku berbangsa yang dimilikinya. Sebuah bangsa yang independen secara budaya dan ideologis, akan meyakini bahwa pandangan hidup yang mereka miliki cukup untuk dijadikan landasan kehidupan berbangsa. Sebaliknya, mereka yang bergantung kepada pihak lain, akan dipaksa untuk menggunakan cara hidup bangsa lain sebagai landasan kehidupannya”.

Lebih jauh, Muthahhari mengatakan, “Masalah besar yang saat ini melanda bangsa-bangsa muslim dunia terkait dengan independensi ideologi adalah tidak adanya keyakinan bahwa Islam memiliki ideologi. Karena itu, hal pertama yang harus diprioritaskan oleh para cendekiawan muslim adalah membangkitkan kesadaran dan memberikan penerangan kepada umat Islam bahwa agama paling sempurna ini sesungguhnya memiliki dasar-dasar ideologi. Sayangnya, sejumlah kalangan yang mengaku sebagai ulama pun banyak yang masih terkecoh dengan propaganda pihak luar yang tiada henti berupaya memberikan kesan bahwa Islam hanyalah agama ibadah dalam pengertian yang sangat sempit”.

Muthahhari juga berkata, “Yang lebih parah lagi adalah jika para ulama tersebut secara sadar menjadi agen pihak luar yang hendak memaksakan ideologi kepada bangsa-bangsa muslim. Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan adanya orang-orang yang mengaku sebagai ulama atau cendekiawan muslim, akan tetapi secara gencar menyeru ummat Islam agar mengikuti ideologi liberal atau sosialis yang jelas-jelas berasal dari pihak luar. Untuk itu, adalah menjadi kewajiban pihak-pihak yang menyadari kekeliruan ini untuk tampil ke depan dan melakukan upaya-upaya yang semestinya dalam rangka membetulkan kekeliruan tersebut”.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home