Thursday, June 29, 2006

Minta Maaf Pada Suharto?

Minta Maaf Pada Suharto?

Atau Logika Jungkirbalik?

Oleh: Harsutejo

Latar Belakang Sejarah

Belakangan ini ketika Suharto, mantan Presiden RI, sedang sakit, segelintir orang menganjurkan agar rakyat Indonesia meminta maaf kepada Suharto, tentunya mumpung dia masih hidup. Marilah kita lakukan sedikit tinjauan sejarah Republik Indonesia kita tercinta ini, apa rakyat memang perlu meminta maaf padanya.

Sebenarnyalah bangsa Indonesia dalam sejarahnya yang panjang terus-menerus berada dalam proses membentuk diri, lebih nyata lagi pada penutup abad 19 dan awal abad ke 20. Proses pembentukan diri sebagai bangsa ini meningkat tinggi dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang dipelopori pemuda-pemuda Mohamad Yamin, Amir Syarifudin, Sartono, Wage Rudolf Supratman dan yang lain yang bersumpah mengaku sebagai Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Indonesia. Selanjutnya memuncak pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 oleh Sukarno – Hatta.

Menyadari adanya perbedaan-perbedaan di antara bangsa Indonesia dari 5000 pulau yang didiami penduduk (di antara lebih dari 17.000 pulau), ratusan suku bangsa dan ras keturunan dengan ratusan bahasanya, perbedaan adat, kepercayaan dan agama, warna kulit, tingkat kemajuan, latar belakang sejarah, keyakinan politik dan ideologi dsb, maka para founding fathers dengan amat bijaksananya menetapkan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ sebagai semboyan negara, yang berada dalam genggaman erat kaki Garuda Pancasila. Semboyan ini sudah diwariskan oleh kebijakan sang pujangga Majapahit Mpu Tantular dari abad 14.. Semboyan kita bukan ‘persatuan dan kesatuan’ seperti yang didengungkan setiap hari oleh TVRI semasa Orde Baru, semboyan kita adalah ‘Bhinneka Tunggal Ika’, kita berbeda-beda seperti dalam kenyataannya memang demikian, tetapi kita satu jua, Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Indonesia. Kita bersatu dalam penerimaan dan penghormatan terhadap perbedaan dan keragaman. Dan kita memang perlu bersatu dalam wadah negara Republik Indonesia. Pembentukan diri bangsa ini masih terus-menerus berproses menuju pada integrasi bangsa yang ideal dalam kebinekaan.

Bagaimana menyikapi perbedaan-perbedaan yang kadang sudah berasal dari sejarah yang panjang terutama di masa penjajahan Belanda, juga perbedaan timpang yang timbul karena konsep pembangunan yang justru merusak persatuan dalam kebinekaan. Perbedaan itu bisa berujung pada satu juga yakni menuju integrasi dengan cara yang tepat, jika tidak maka dapat merupakan kendala besar yang berujung pada desintegrasi. Sebagian perbedaan itu bisa merupakan kekayaan besar bangsa ini juga. Para Bapak Bangsa telah memberikan contoh kebijakan bagaimana menyikapi perbedaan itu antara lain dengan rumusan Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila yang dapat merupakan kontrak ikatan terhadap seluruh bangsa ini dengan segala perbedaannya.


Orba Merusak Bhinneka Tunggal Ika


Rezim Orba dalam prakteknya mengabaikan realitas kebinekaan. Kesadaran yang diwariskan para Bapak Bangsa ini tidak pernah mendapat perhatian semestinya. Karena perbedaan itu tidak pernah diakui secara nyata, maka tidak dikelola secara wajar dan menimbulkan bom waktu pertentangan keras terbuka di antara suku, daerah, golongan bahkan dengan nuansa agama. Rezim Orba dengan riuh-rendah selalu menghujat kaum komunis karena antara lain dalam ideologinya menganut prinsip perjuangan kelas yang memecah belah. Selama rezim Orba berkuasa, justru secara sistimatis dan terus-menerus dilakukan politik pecah belah terhadap rakyat Indonesia. Perbedaan dan pertentangan antar-golongan dan suku sebagai bagian dari keanekaragaman bagaimana pun merupakan kenyataan hidup bangsa Indonesia. Persoalannya bagaimana perbedaan dan pertentangan itu dikelola dengan memperkuat institusi masyarakat yang ada, agar masyarakat dapat mengatasi dan menyelesaikannya sendiri tanpa intervensi negara dalam proses yang damai. Yang dilakukan rezim ini justru kebalikannya, melumpuhkan institusi masyarakat dan memperkuat institusi negara dan menjadi negara otoriter, menindas pertentangan dan perbedaan dengan kekerasan. Yang terjadi adalah pertentangan yang membesar seperti api dalam sekam, menunggu saat yang tepat untuk meledak. Dan inilah yang terjadi setelah tumbangnya Suharto, Sang Bapak Pembangunan..

Di samping itu rezim Orba melakukan berbagai diskriminasi, bukan saja terhadap etnik Tionghoa dan kaum “tidak bersih diri dan tidak bersih lingkungan” korban tragedi 1965, tetapi juga di antara suku-suku pendatang transmigran dan suku setempat, mengabaikan berbagai hak adat, juga dalam hubungannya dengan pembukaan apa yang mereka sebut sebagai proyek pembangunan. Akibatnya pertentangan etnik juga meningkat, sekaligus memperlemah rasa kebangsaan dan mempertebal rasa kedaerahan, timbulnya separatisme yang mengarah pada desintegrasi bangsa. Diperkuatnya institusi negara telah menjurus pada penggunaan teror terhadap berbagai macam kelompok yang berbeda termasuk kelompok agama yang hendak mengatur lingkungannya sendiri sebagai bagian dari pemberdayaan institusi masyarakat. Pemaksaan institusi negara yang terjadi telah mengambil korban seperti dalam peristiwa Tangjungpriok, Lampung dsb. Teror semacam itu justru telah meningkatkan berkembangnya wawasan agama yang sempit. Terorisme oleh negara yang dimulai secara besar-besaran pada 1965 itu berlanjut di daerah-daerah Papua, Aceh, dan Timor Leste semasa dicaplok rezim Orde Baru, kemudian terpaksa ditinggalkan.

Mesin kekuasaan Orba pun telah jauh mengintervensi partai politik, organisasi-organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang independen. Perpecahan yang terjadi digunakan oleh mesin negara yang kental dengan intelijen militer untuk mengontrol dan menguasainya dengan cara mendudukkan orang-orang yang dapat dikendalikan oleh kekuasaan meskipun tidak disukai oleh anggotanya. Jenderal Suharto merupakan jawara dalam melaksanakan politik pecah belah alias divide et empera model penjajah. “Suharto was by now well versed in the tactics of devide and conquer” (Suharto sangat trampil dalam taktik memecah belah dan mengusai) begitu tulis wartawan terkenal Adam Schwarz pada 1994 yang selama kekuasaan Orba dicekal..

Rezim Orba menghendaki segalanya seragam dengan mengabaikan adanya perbedaan bahkan membunuh perbedaan dengan segala macam rekayasa yang menipu, agar dengan mudah rakyat yang berbeda-beda itu diperintah dan tunduk di bawah kaki kekuasaannya yang seragam pula, kekuasaan yang korup dan represif dengan filosofi ‘bagi-bagi kekuasaan dan bagi-bagi rejeki’ di antara Presiden Suharto, para jenderal (AD khususnya) serta kroni-kroninya. Dengan demikian masyarakat tidak dididik untuk menerima dan menghargai adanya perbedaan dan keberagaman, tidak dididik untuk bekerjasama dalam perbedaan. Rezim Orba telah menafikan motto dasar bangsa ini, Bhinneka Tunggal Ika, salah satu mutiara yang telah dihasilkan oleh pendiri negara ini, para Bapak Bangsa. Betapa hebat kerusakan yang dialami negeri dan bangsa ini karena ulah rezim Orba yang dipandegani oleh Jenderal Besar (Purn) Suharto selama 32 tahun, belum lagi kerusakan moral yang begitu luas oleh budaya korupsi yang amat destruktif. Kerusakan semacam itulah yang kita warisi dewasa ini, sampai-sampai negeri ini berada di bibir kebangkrutan. Apa patut rakyat Indonesia yang telah dibuat sengsara ini justru meminta maaf kepada Suharto, seperti yang disarankan segelintir orang? Ini benar-benar logika jungkirbalik bukan?

Bekasi, Mei 2005.-

* * *

Catatan A. UmarSaid

Kejahatan dan dosa Suharto

bisakah dima’afkan ?

Berkaitan dengan telah dirawatnya mantan Presiden Suharto di rumaksakit, akhir-akhir ini dalam media pers Indonesia (dan berbagai milis di Internet) banyak ditulis tentang masalah pengampunan terhadap kesalahan-kesalahannya, sehingga tidak perlu diajukan ke depan pengadilan. Apakah kesalahan-kesalahan mantan presiden Suharto terhadap puluhan juta warganegara Indonesia itu dapat dima’afkan? Atau, apakah begitu banyak kejahatan berat yang telah dibuatnya selama 32 tahun itu perlu diampuni? Atau, apakah dosa-dosa besarnya terhadap bangsa dan negara bisa dihapus begitu saja ?

Masalah Suharto adalah urusan besar dalam sejarah bangsa kita. Karena itu, seyogianya, kita semua hendaknya bisa melihat persoalannya dengan pandangan yang jernih, atau dengan nalar yang sehat, dan dengan hati-nurani yang bersih. Seperti yang kita lihat sekarang dan rasakan sendiri selama ini, masalah Suharto ini akan tetap terus menjadi persoalan, walaupun ia sudah turun dari kekuasaannya sebagai presiden RI, dan panglima tertinggi ABRI, dan juga sebagai pimpinan tertinggi Golkar. Sebab, terlalu banyak kesalahan-kesalahan besar dan persoalan-persoalan rumit, yang telah dibuatnya selama ia mengangkangi Republik Indonesia dengan Orde Barunya. Ini kenyataan.

ORDE BARU DAN SUHARTO ADALAH SATU

Kita sudah sama-sama menyaksikan sendiri bahwa sejak 1998 Orde Baru sudah dinajiskan atau diharamkan oleh rakyat Indonesia. Penolakan rakyat terhadap Orde Baru ini diawali atau didorong oleh gerakan nasional mahasiswa, yang kemudian diperkuat oleh berbagai keputusan MPR. Penolakan rakyat terhadap Orde Baru dengan sendirinya berarti bahwa Suharto - sebagai tokoh dan pemimpin utama Orde Baru - juga dinajiskan atau diharamkan oleh rakyat. (Bahasa ini mungkin terasa “terlalu kasar” atau amat polos bagi telinga sebagian orang, terutama bagi para pendukung Orde Baru. Tetapi itulah pada intinya).

Sekarang ini, sebagian besar orang (termasuk sebagian besar media pers Indonesia) sudah sering sekali membongkar segala ketidakberesan yang dilakukan Orde Baru ( yang berupa berbagai kesalahan politik, kejahatan ekonomi, pelanggaran HAM, KKN, kemerosotan moral). Dan, karenanya, banyak orang melihat atau mengalami sendiri bahwa Orde Baru adalah pada intinya, atau pada dasarnya, adalah Orde Busuk. Banyak sekali kerusakan-kerusakan atau pembusukan yang sudah diakibatkan Orde Baru selama 32 tahun. Dan perlu ditegaskan di sini, bahwa banyaknya pembusukan di berbagai bidang ini - adalah pertama-tama, bahkan terutama sekali ! - menjadi tanggungjawab Suharto, sebagai pimpinan tertinggi Orde Baru, atau sebagai diktator yang memonopoli kekuasaan mutlak dalam jangka yang lama sekali. Dan ini pun tidak bisa lain!

Jadi, mengutuk Orde Baru adalah sebenarnya berarti mengutuk Suharto. Kalau ada orang atau “tokoh” yang menyatakan “anti Orde Baru” tetapi masih memuja-muja atau menganggap baik Suharto, berarti bahwa pada hakekatnya ia adalah tetap pro Orde Baru. Siapa-siapa saja mereka itu semuanya, kiranya tidak perlulah ditegaskan dalam tulisan ini. Jumlahnya cukup banyak, dan juga terdapat di kalangan sipil maupun militer, termasuk “tokoh” dalam partai-partai dan kalangan agama.

SUHARTO BUKAN PAHLAWAN PENYELAMAT BANGSA

Suharto baru dijatuhkan tahun 1998, artinya baru 7 tahun, setelah ia berkuasa secara tangan besi selama puluhan tahun. Kalau selama 32 tahun ia telah dipuja-puja setinggi langit oleh banyak orang – akibat tertipu oleh propaganda dan uang atau akibat berbagai manipulasi – maka sekarang ini makin banyak orang yang dapat melihat jati-dirinya yang sebenarnya.

Sekarang ini makin jelas bagi banyak orang, bahwa Suharto ternyata bukanlah “pahlawan penyelamat bangsa” dan bukan pula “bapak pembangunan” seperti yang digembar-gemborkan terus-menerus dalam jangka lama sekali . Banyak kejadian atau fakta makin meyakinkan bagi banyak orang bahwa keluarga Suharto sama sekali bukanlah contoh yang luhur di bidang moral. Selama ini, beraneka “kisah” tentang jaring-jaringan KKN yang telah dibangun oleh keluarga Cendana (antara lain ; Tommy Suharto, Tutut, Sigit, Bambang, Probosutedjo) sudah jadi pembicaraan di berbagai kalangan luas di Indonesia. Juga di luarnegeri.

Kekayaan yang menggunung dan bertumpuk-tumpuk (baik yang berupa macam-macam perusahaan di Indonesia atau simpanan dalam bank-bank di dalamnegeri dan luarnegeri) yang dimiliki oleh keluarga Suharto adalah sebenarnya bukti nyata bahwa harta yang begitu besar jumlahnya itu adalah berasal dari praktek-praktek yang nista atau “bejat” secara moral, karena berbau KKN, atau berbau penyalahgunaan kekuasaan, dan intimidasi serta manipulasi.

KESALAHAN DAN KEJAHATAN SUHARTO

Dalam kedudukannya sebagai diktator yang memimpin Orde Baru, mantan jenderal Suharto ini telah melakukan banyak sekali kesalahan dan kejahatan selama 32 tahun. Sebagai pimpinan tertinggi militer ia harus ikut bertanggungjawab atas terbunuhnya secara besar-besaran dan secara kejam, di berbagai penjuru tanah-air, jutaan orang-orang yang tidak bersalah apa-apa dalam tahun 65. Ia juga harus bertanggungjawab terhadap ditahannya ratusan ribu tapol, termasuk yang di pulau Buru, yang juga terdiri dari orang-orang yang tidak bersalah apa-apa. Banyak di antara mereka yang ditahan secara sewenang-wenang sampai belasan tahun. Ini fakta sejarah, yang tidak bisa dipungkiri siapapun.

Sebagai akibat politik Suhartolah maka puluhan juta para anggota keluarga atau sanak-saudara (jauh dan dekat) para korban peristiwa 65 menanggung bermacam-macam penderitaan yang berkepanjangan selama hampir 40 tahun, sampai sekarang! Mereka terus-menerus mengalami beraneka-ragam penderitaan (dan penyiksaan !!!) akibat masih diberlakukannya banyak peraturan-peraturan terhadap para eks-Tapol dan para korban peristiwa 65 lainnya. Banyak di antara mereka yang untuk hidup miskin saja sudah sulit, sebab dipecat dari pekerjaan tanpa imbalan, atau dilarang untuk mempunyai pekerjaan. Puluhan juta orang harus menderita puluhan tahun karena adanya peraturan “bersih lingkungan” atau karena adanya KTP yang diberi tanda “ET”.. Adalah merupakan hal yang wajar, bahwa penderitaan mereka itu tidak mudah dilupakan begitu saja.

Bermacam-macam penderitaan selama puluhan tahun yang harus dipikul oleh puluhan juta korban peristiwa 65 (termasuk anggota PKI atau yang bukan anggota, dan pendukung-pendukung setia Bung Karno) adalah akibat politik rejim militer Orde Baru. Oleh karena itu – pada dasarnya – penderitaan jutaan korban peristiwa 65 adalah juga merupakan tanggungjawab atau dosa besar Suharto. Tidak bisa lain! Nalar yang wajar dan hati nurani yang sehat akan selalu mengatakan demikian.

KEJAHATAN BESAR LAINNYA : MENGGULINGKAN BUNG KARNO

Bung Karno adalah pemimpin bangsa Indonesia yang dalam perjuangannya sejak muda sekali (dalam tahun1920-an) sudah menunjukkan dengan jelas sikapnya yang tegas anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Melalui proklamasi 1945, kemudian Konferensi Bandung, GANEFO dan Konferensi Wartawan Asia-Afrika, dan kemudian lagi melalui KIAPMA (Konferensi Internasional Anti-Pangkalan Militer Asing), Bung Karno terus menunjukkan dengan konsekwen sikapnya ini. Itulah sebabnya, sejak lama kaum imperialis Barat (bersama-sama kaki-tangannya di dalamnegeri) berusaha berkali-kali menjatuhkan Bung Karno (ingat, antara lain : PRRI-Permesta)

Dengan terjadinya G30S, maka terbukalah kemungkinan bagi kaum imperialis (terutama AS) bersama-sama kakitangannya di dalamnegeri untuk menggulingkan Bung Karno. Dalam hal ini, peran Suharto sangat besar sekali. Penggulingan Bung Karno oleh Suharto perlu dicatat dalam sejarah bangsa Indonesia sebagai peristiwa besar yang menyedihkan sekali. Coba mari sama-sama kita renungkan : seorang pemimpin besar bangsa yang seluruh hidupnya dipakai untuk berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme demi rakyatnya telah digulingkan oleh seorang yang dulunya adalah serdadu KNIL kolonial Belanda dan yang kemudian menjadi diktator yang sangat kejam dan korup pula.

Dari sudut ini kita bisa melihat bahwa Suharto bukanlah pahlawan yang menyelamatkan bangsa dan negara. Sebaliknya, dengan Orde Barunya selama 32 tahun ia telah merusak bangsa dan negara, yang akibat parahnya bisa kita saksikan terus dengan nyata dewasa ini. Kebobrokan mental atau kebejatan moral (antara lain contohnya: korupsi yang merajalela, penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat-aparat negara) yang melanda kalangan paling atas sampai ke bawah - yang kita bisa baca setiap hari di media pers atau kita saksikan di sekeliling kita - bukanlah sekadar hanya akibat pemerintahan Habibi, Gus Dur, Megawati dan SBY saja, melainkan terutama sekali (!!!) - tanda seru tiga kali - adalah sisa-sisa peninggalan buruk atau warisan busuk era Orde Baru-nya Suharto yang selama 32 tahun itu.

Sedikit demi sedikit bangsa Indonesia mulai melihat dengan lebih jelas bahwa Suharto sudah berbuat kesalahan serius dan kejahatan besar di berbagai bidang, yang sulit sekali dilupakan oleh banyak orang. Rejim militernya, yang mengangkangi Republik Indonesia selama puluhan tahun, telah melakukan pelanggaran HAM secara besar-besaran baik di Indonesia sendiri maupun di Timor Timur. Selama Orde Baru berkuasa, korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela, yang menyebabkan sebagian kecil sekali bangsa kita saja yang bisa menikmati hidup mewah dan kaya raya, dengan cara-cara haram dan moral yang hina nista.

KEJAHATAN SUHARTO JUGA DISAKSIKAN DUNIA

Bahwa Suharto sebagai diktator kejam dan korup telah melakukan berbagai kejahatan terhadap peri kemanusiaan adalah sesuatu yang patut (bahkan harus !) ditulis dalam sejarah bangsa Indonesia. Ini sangat mutlak perlu untuk kepentingan generasi-generasi yang akan datang. Sebab, sebagian besar generasi yang sekarang hidup di Indonesia sudah mengalami sendiri apa arti “kepemipinan” Suharto ini.

Barangkali, tidak banyak orang di Indonesia tahu bahwa citra buruk Suharto sudah diketahui juga oleh orang banyak di dunia. Banyak orang di berbagai negeri di dunia ini yang sudah menulis (dalam media pers atau buku-buku) tentang Suharto. Karenanya, namanya sudah cukup terkenal, tetapi sebagian terbesar sekali dari bahan-bahan atau tulisan itu bersifat negatif atau tidak menguntungkannya . Banyak tulisan atau bahan-bahan yang bersifat dokumentasi tentang bermacam-macam soal yang berkaitan dengan aspek-aspek negatif Suharto ini dapat disimak oleh setiap pemakai computer melalui Internet (dengan menggunakan search engine GOOGLE).

Dengan meng-ketik berbagai kata kunci di GOOGLE (umpamanya Suharto Hitler, Suharto dictator, Suharto massacres, Suharto Human Rights, atau Suharto corruption dan lain-lain kata kunci) maka tersajilah dalam beberapa detik ribuan - bahkan puluhan ribu - bahan, tulisan atau dokumentasi mengenai segala macam persoalan Suharto. Sumber bahan-bahan ini berasal dari berbagai kalangan di banyak negeri (termasuk universitas, lembaga ilmiah, pers dan majalah, dokumen seminar, termasuk karya perseorangan).

Bagi semua orang yang ingin mengetahui lebih banyak lagi apakah Suharto ini bisa disamakan dengan Hitler, Idi Amin Dada, ataukah ia diktator yang kejam dan korup yang sudah membunuhi jutaan orang, dan lain sebagainya, bisa di-ketik kata kunci dalam GOOGLE (dalam bahasa Inggris), umpamanya :

Suharto Human Rights 143.000 bahan segala macam tersedia

Suharto Dictator 54. 000 bahan segala macam tersedia

Suharto Hitler 32.000 bahan segala macam tersedia

Suharto Massacre 33.000 bahan segala macam tersedia

Suharto Wealth 48. 900 bahan segala macam tersedia

Begitu banyaknya segala macam bahan, yang sebagian terbesar mengungkap kesalahan dan kejahatan Suharto yang telah pernah dibuatnya sebagai diktator dan pemimpin rejim militer Orde Baru, kiranya makin meyakinkan banyak orang bahwa tidak mungkin mema’afkan begitu saja Suharto tanpa lebih dulu mengajukannya di depan pengadilan. Mema’afkan begitu saja dosa-dosa berat Suharto adalah bertentangan dengan prinsip menjunjung keadilan. Sudah terlalu banyak air mata yang tercurah, sudah terlalu banyak darah yang mengalir, dan sudah terlalu banyak jiwa yang melayang percuma, dan sudah terlalu lama begitu banyak orang yang menderita. Semuanya minta keadilan!

Paris, 17 Mei 2005

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home